Beranda | Artikel
Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 4): Hal yang Diperlukan agar Bisa Berdakwah dengan Hikmah
Senin, 16 Oktober 2023

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Hal yang diperlukan agar bisa berdakwah hikmah

Di antara hal yang diperlukan agar bisa berdakwah hikmah adalah mengenal tingkatan hukum dalam mengingkari kemungkaran

Nasihat Syekh Al-Utsaimin rahimahullah [1]

Bahwa hendaknya seorang da’i mendekati dan mendakwahi anggota masyarakat pelaku dosa besar serta bersabar terhadap resikonya, bukan justru membuat sekat, menjauhi, dan mengucilkannya. Jangan pula seorang da’i merasa sombong dan tidak pantas mendekati pelaku dosa besar dalam rangka mendakwahinya.

Karena apabila para da’i menjauhi mereka, tidak mendakwahi mereka, dan meninggalkan amar makruf nahi mungkar, siapa lagi yang akan mendakwahi dan mengingkari kemungkaran mereka? Apakah sesama pelaku dosa besar yang diharapkan akan mengingkari temannya? Atau orang yang tidak paham ilmu amar makruf nahi mungkar yang diharapkan akan mendakwahi mereka?

Hukum mengingkari kemungkaran

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, dalam kitab I’lam Al-Muwaqqi’in (4: 3-5) mengatakan,

“Mengingkari kemungkaran itu ada 4 tingkatan :

Tingkatan pertama: Hilang kemungkaran yang diingkari dan berganti dengan kebalikannya

Tingkatan kedua: Berkurang, namun tidak hilang secara totalitas

Tingkatan ketiga: Berganti dengan kemungkaran yang semisal

Tingkatan keempat: Berganti dengan kemungkaran yang lebih buruk dibanding kemungkaran yang diingkari.

Hukum dua tingkatan pertama adalah disyariatkan, sedangkan tingkatan yang ketiga adalah ranah ijtihad. Adapun hukum tingkatan yang keempat adalah diharamkan.” [2]

Contoh penerapan kaidah ingkarul mungkar di atas [3]:

Contoh pertama:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkisah, “Saya dan sebagian temanku melewati sekelompok orang yang menenggak minuman memabukkan. Lalu, salah satu temanku mengingkarinya, namun justru saya mengingkari temanku tersebut. Saya katakan kepadanya,

‘Allah mengharamkan minuman memabukkan, karena menghalangi dari dzikrullah dan salat. Sedangkan (sekarang), minuman memabukkan itu menghalangi mereka dari membunuh dan menyekap orang serta merampas harta. Oleh karena itu, biarkan mereka (mabuk).”

Penjelasan:

Kemudaratan mabuk itu mengenai diri pemabuk sendiri, namun kemudaratan mengingkari pemabuk itu mengenai orang lain, di samping juga mengenai pemabuk sendiri. Karena pemabuk itu di samping mabuk, juga bisa melakukan dosa yang lebih parah dari mabuk (membunuh dan menyekap orang serta merampas harta).

Contoh kedua:

Apabila mengingkari seseorang yang sibuk membaca buku-buku porno itu diduga kuat ia akan beralih kepada buku-buku bid’ah, akidah batil, dan sihir, maka sikap yang tepat saat itu adalah membiarkan orang tersebut membaca buku porno, untuk menghindari mudarat yang lebih besar.

Macam-macam kondisi mengingkari kemungkaran dan hukumnya

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Minhajul Qashidin menjelaskan bahwa mengingkari kemungkaran ditinjau dari bermanfaat atau tidaknya, terbagi menjadi 4 keadaan orang yang mengingkari kemungkaran:

Pertama: Ia tahu bahwa kemungkaran tersebut akan hilang dengan perkataan atau perbuatannya, tanpa ada bahaya yang menimpanya. Maka wajib baginya untuk mengingkari.

Kedua: Ia tahu bahwa perkataannya tidak bermanfaat dan jika ia berbicara, akan dipukul. Maka gugurlah kewajiban ingkarul mungkar darinya.

Ketiga: Ia tahu bahwa pengingkarannya tidak bermanfaat. Akan tetapi, ia tidak khawatir akan dampak buruknya, maka tidak wajib baginya untuk mengingkarinya, karena tidak ada manfaatnya. Namun, disunahkan hal itu baginya, guna menyebarkan syi’ar Islam dan mengingatkan akan ajaran Islam.

Keempat: Ia tahu bahwa mengingkarinya menyebabkannya tertimpa bahaya. Akan tetapi, jika diingkari, pelaku maksiat akan meninggalkan kemungkarannya, seperti mematahkan gitar [4] atau menumpahkan minuman memabukkan. Sedangkan ia tahu bahwa setelah itu pelaku maksiat tersebut akan memukulnya, maka gugurlah kewajiban inkarul munkar baginya. Namun, hukum mengingkarinya masih disunahkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أفضلُ الجهادِ كلمةُ عدلٍ عند سُلطانٍ جائرٍ

Jihad yang paling utama adalah kalimat haq yang disampaikan di hadapan penguasa yang zalim.” (Shahih Abu Dawud)

Catatan:

Mengingkari kemaksiatan di tengah masyarakat dengan mematahkan gitar atau menumpahkan minuman memabukkan itu adalah hak dari pihak yang berwenang (polisi atau semisalnya). Karena apabila diserahkan kepada setiap individu masyarakat, maka akan terjadi pertengkaran, kekacauan, bahkan bisa saja sampai saling membunuh. Tentunya, mengingkari kemungkaran yang menyebabkan timbulnya kemungkaran yang lebih besar itu hukumnya haram.

Baca juga: Apakah Ibadah Harus Diketahui Hikmahnya?

Di antara hal yang diperlukan agar bisa berdakwah dengan hikmah adalah mengenal skala prioritas dalam beragama Islam

Perintah Allah itu bertingkat-tingkat. Urutannya sebagai berikut:

Pertama: Dasar keimanan dan rukun-rukun (tauhid dasar, rukun iman, dan rukun Islam)

Kedua: Wajib

Ketiga: Sunnah mu’akkadah (afdal)

Keempat: Sunnah ghoiru mu’akkadah (mafdhul)

Larangan Allah itu bertingkat-tingkat. Urutannya sebagai berikut:

Pertama: Syirik akbar dan setingkatnya

Kedua: Syirik kecil dan setingkatnya

Ketiga: Bid’ah

Keempat: Dosa besar

Kelima: Dosa kecil

Keenam: Makruh

Hanya saja, dituntut kekreatifan dalam memilih pintu-pintu pengajaran perkara terpenting, yaitu tauhid. Dan pengajaran tauhid itu bisa via pengajaran Al-Qur’an, hadis, fikih ibadah, dan lain-lain.

Kita pun bisa melakukan pendekatan kepada masyarakat dan memasukkan akidah lewat pengajian kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah dan kitab Riyadhush Shalihin, yang kebetulan kedua-duanya merupakan karya salah satu ulama tersohor mazhab Syafi’i, yaitu Imam An-Nawawi rahimahullah.

Di saat kita menjelaskan hadis tentang ikhlas, kita bisa memasukkan ajaran tauhid. Ketika menjelaskan hadis tentang iman dengan para rasul, kita bisa memasukkan kewajiban mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam segala lini kehidupan. Demikian selanjutnya.

Kita pun bisa menerapkan metode di atas dengan masyarakat kita, dengan mulai membuka TPA untuk anak-anak dan bisa juga dengan mengadakan pengajian tafsir untuk orang tua mereka. Ketika telah sampai ke dalam ayat kelima dari surah Al-Fatihah, kita bisa menekankan kewajiban memurnikan ibadah dan permohonan tolong hanya untuk Allah semata. [5]

Jadi, cara berdakwah yang hikmah bukan justru larut dalam acara maksiat dengan alasan ingin mendakwahi.

Sebagai ilustrasi, misalnya:

Seorang ‘juru dakwah’, namun minim ilmu, kerap ikut larut dalam ritual-ritual syirik dan acara-acara bid’ah, sambil sesekali bermusik ria dengan dalih pendekatan masyarakat sebelum mendakwahi mereka.

Dengan alasan:

“Kita harus bersikap hikmah dalam berdakwah. Kalau kita tidak mengikuti acara-acara itu terlebih dahulu, masyarakat akan lari dan menjauhi kita! Bukankah Islam itu rahmatan lil ‘alamin?” Jawab si ‘juru dakwah’ tadi dengan ringan.

Maka, kita luruskan sikap da’i yang keliru tersebut bahwa hikmah tetap dengan amar makruf nahi mungkar, namun dikemas dengan cara yang mudah diterima selama tidak melanggar syariat Islam, bukan justru ikut melakukan kemungkaran.

Demikian pula, dengan menerapkan poin “Hukum mengingkari kemungkaran” dan poin “Menerapkan skala prioritas dalam berdakwah” di atas, maka insyaAllah tidak akan terjadi kebingungan saat seorang anak melihat rumahnya banyak kemungkaran karena keawaman keluarganya.

Perhatikan ilustrasi seorang anak yang mengingkari kemungkaran yang banyak terjadi di rumahnya:

“Pokoknya mulai hari ini, bapak dan ibu tidak boleh lagi pergi ke dukun dan tidak boleh lagi sedekah bumi, tidak boleh ikut maulidan dan tahlilan, tidak boleh nonton tv, bapak harus memendekkan celana panjang di atas mata kaki, dan ibu harus memakai cadar!” Demikian ‘instruksi’ seorang pemuda yang baru ‘ngaji’ kepada bapak dan ibunya.

“Memangnya kenapa?!” tanya orang tuanya dengan nada tinggi.

“Karena itu syirik, bid’ah, dan maksiat!” jawab si anak berargumentasi.

“Kamu itu anak kemarin sore, tahu apa?! Tidak usah macam-macam, kalau tidak mau tinggal di rumah ini keluar saja!!” Si bapak dan ibu menutup perdebatan dalam rumah kecil itu.

Kita katakan kepadanya:

“Bertahaplah akhi dalam mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang ada di rumah antum …” “Antum harus bersikap hikmah …”

Jika ada pertanyaan:

“Lho, bukankah kita harus menyampaikan yang hak, meskipun itu pahit?!”

Kita jawab bahwa hikmah itu menuntut kita mempertimbangkan kesiapan mad’u dan menggunakan cara yang paling mudah diterima, serta menghindari kemudaratan yang lebih besar atau sama. [6]

Kembali ke bagian 3: Tingkatan Hikmah dalam Berdakwah

Lanjut ke bagian 4: (Bersambung, insyaAllah)

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah


Artikel asli: https://muslim.or.id/88321-hal-yang-diperlukan-agar-bisa-berdakwah-dengan-hikmah.html